Artikel terbaik tentang puasa
Oleh : KH. Jalaluddin Rakhmat
Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadis bahwa dengan puasa kita belajar
mengendalikan hawa nafsu serta mengendalikan setan yang menipu dan menjebak
kita. Pada waktu kita puasa, kita membelenggu setan, membuka pintu surga dan
menutup pintu neraka.
Kita belajar menahan setan supaya tak masuk ke dalam tubuh kita. Salah satu
pintu masuk setan ke dalam tubuh kita adalah melalui makan dan minum. Kita
tutup pintu-pintu itu pada waktu siang hari. Kita melemahkan setan;
membuatnya tak berdaya. Puasa adalah latihan mengendalikan hawa nafsu.
Di dalam tarekat, puasa adalah upaya mengendalikan diri kita secara lahiriah
dan secara batiniah. Secara lahiriah, kita mengendalikan diri dengan
mempuasakan seluruh panca indera kita. Dalam ilmu kebatinan, ketika kita
melakukan semedi, kita harus menutup tujuh pintu masuk setan. Tujuh pintu
itu adalah tujuh lubang dalam tubuh kita. Di antaranya mata, telinga, mulut,
dan hidung. Dengan cara itu, kita dapat masuk ke dalam alam kesucian.
Secara lahiriah, puasa yang pertama di dalam tarekat adalah puasa menutup
mulut kita atau puasa bicara. Puasa bicara bukan berarti meninggalkan
pembicaraan yang kotor atau menggunjing orang lain. Dalam hadis Shahih
Bukhari, Rasulullah saw bersabda, "Tidak dihitung mukmin, orang yang suka
melaknat orang lain, suka menyakiti hati orang lain, atau berkata kotor."
Ketika kita tak berpuasa pun, hal itu tidak boleh dilakukan, apalagi ketika
kita sedang berpuasa. Yang dimaksud dengan puasa bicara adalah setelah
meninggalkan pembicaraan tersebut di atas, kita menambah atau memperlebar
puasa bicara kita dengan tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu. Kita
tidak berbicara yang tidak berguna. Ciri mukmin yang sejati adalah
menghindarkan pembicaraan yang tidak ada manfaatnya.
Yang dimaksud dengan manfaat di dalam hal ini adalah mendekatkan diri kepada
Allah swt. Perkataan yang tidak membawa kita dekat kepada Allah swt adalah
perkataan yang tidak bermanfaat. Hentikanlah perkataan seperti itu di dalam
bulan puasa. Sebaiknya kita gantikan obrolan kita dengan memperbanyak
dzikrullah, zikir kepada Allah swt.
Mengobrol tanpa menggunjingkan atau menyakiti orang lain memang
diperbolehkan dalam agama. Tidak ada salahnya dalam hal itu. Tapi alangkah
lebih baiknya bila waktu mengobrol itu kita ganti dengan berzikir kepada
Allah.
Kita mengurangi suara mulut kita. Jika mulut kita terlalu banyak bicara,
kita takkan sanggup lagi mendengarkan suara hati nurani kita. Siti Maryam as
dalam Al-Quran dikisahkan pernah berpuasa tidak bicara. Ketika Maryam hilang
dari kampung halamannya dan kembali setelah sekian lama dengan seorang bayi,
orang-orang bertanya, "Hai saudara perempuan Harun, kau pulang dengan
sesuatu yang aneh. Padahal kami mengenal engkau bukan sebagai perempuan
nakal, melainkan perempuan saleh. Mengapa tiba-tiba kau pulang membawa
anak?"(QS. Maryam: 28) Siti Maryam as diperintahkan Allah untuk puasa
bicara. Ia disuruh untuk tidak menanggapi tuduhan yang macam-macam itu.
Maryam hanya menjawab, "Aku sudah bernadzar kepada Allah yang Mahakasih
bahwa hari ini aku tidak akan berbicara kepada seorang manusia pun." Maryam
berjanji kepada Allah untuk berpuasa bicara. Karena Maryam puasa bicara,
maka ia mampu mendengar suara bayi dalam kandungannya. Waktu itu juga,
ketika Maryam membawa anak kecil, bayi itulah yang menjawab hujatan
orang-orang. Bayi itu menjawab, "Salam bagiku ketika aku dilahirkan ketika
aku mati dan pada waktu aku dibangkitkan nanti."(QS. Maryam: 33)
Menurut Sayyid Haidar Amuli, bila kita terlalu banyak bicara, kita takkan
mampu untuk mendengarkan isyarat-isyarat gaib yang datang kepada kita. Kita
juga menjadi tak sanggup mendengar kata-kata hati nurani kita. Suara mulut
kita terlalu riuh sehingga isyarat-isyarat dari alam malakut (alam ruh) tak
terdengar oleh batin kita. Kita terlalu banyak mendengarkan suara kita
sendiri.
Puasa bicara diajarkan di dalam Al-Quran khusus kepada orang-orang saleh
yang tidak hanya menjalankan syariat saja tetapi juga ingin memperindah
syariatnya dengan usaha lebih lanjut. Puasa tarekat tidak berarti
meninggalkan puasa syariat. Puasa tarekat adalah memperindah puasa syariat;
menghiasnya agar lebih bagus.
Ketika kita berpuasa, setelah kita meninggalkan kata-kata kotor dan
menyinggung perasaan orang, kita juga meninggalkan kata-kata yang
biasa-biasa. Hanya supaya pembicaraan kita tidak mengambil alih zikir yang
seharusnya kita lakukan di bulan Puasa. Nabi Zakaria as, ketika diberitahu
bahwa ia akan mempunyai anak yang bernama Yahya, merasa amat bahagia karena
dalam usianya yang amat tua, ia belum juga dikaruniai seorang putra. Zakaria
as sering berdoa, "Tuhanku, sudah rapuh tulang-tulangku, sudah penuh
kepalaku dengan uban, tapi aku tak putus asa berdoa kepada-Mu." (QS. Maryam:
4) Satu saat, Tuhan menjawab, "Aku akan memberi kepadamu seorang anak." (QS.
Maryam: 7) Zakaria as hampir tidak percaya, "Bagaimana mungkin aku punya
anak, ya Allah. Padahal istriku mandul dan aku pun sudah tua renta." (QS.
Maryam: 8) Lalu Tuhan menjawab, "Hal itu mudah bagi Allah. Bukankah kamu pun
asalnya tiada lalu Aku ciptakan kamu." (QS. Maryam: 9) Zakaria masih
penasaran dan ia minta kepada Allah, "Apa tandanya, ya Allah?" Tuhan
menjawab, "Tandanya ialah kau harus puasa bicara. Kau tidak boleh berkata
kepada seorang manusia pun selama tiga hari berturut-turut." (QS. Maryam:
10)
Zakaria as diperintahkan Tuhan untuk mensyukuri nikmat yang diterimanya
dengan berpuasa bicara. Itulah juga nasihat kepada seorang suami yang
istrinya sedang mengandung; belajarlah puasa bicara. Usahakan sesedikit
mungkin berbicara. Insya Allah, jika selama istri kita mengandung, kita
berpuasa bicara, maka Allah akan memberikan kepada kita seorang anak seperti
Yahya yang cerdas, arif, berhati lembut dan suci, bertakwa kepada Allah swt,
dan sangat berkhidmat kepada orang tuanya, tak pernah memaksakan
kehendaknya. Itulah ganjaran kepada orang yang puasa bicara.
Puasa bicara adalah puasa tarekat. Hanya dengan puasa bicara, batin kita
menjadi lebih tajam untuk mendengarkan isyarat-isyarat gaib, mendengarkan
hati nurani. Ketika kita terlalu banyak bicara, kita menjadi tuli. Dalam
peristiwa mikraj diceritakan ketika Nabi Muhammad saw isra dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsha, beliau melihat di pertengahan jalan ada seorang
yang mengguntingi lidahnya berulang kali. Malaikat Jibril menjelaskan,
"Itulah tukang-tukang ceramah yang suka memberikan nasihat kepada orang
banyak tetapi ia tidak mempraktikkan apa yang ia khotbahkan."
Selasa, 11 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar